Mendekati tahun pemilu dan pemilihan, isu terkait netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi fokus perbincangan banyak kalangan. Status sosial ASN yang sensitif di masyarakat, menjadi tolok ukur akan harapan besar dan selayaknya ASN terbebas dari intervensi politik praktis. Tidak hanya menjadi pengurus, bahkan menjadi simpatisan-pun merupakan hal terlarang.
Meskipun sudah sering kali dibahas, namun kasus pelanggaran atas netralitas ASN ini masih saja mengemuka. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyatakan, pelanggaran atas netralitas ASN pada agenda pemilu serentak 2024 dimungkinkan akan tetap terjadi. Hal ini didasari oleh maraknya ASN yang melanggar aturan pada Pilkada tahun-tahun sebelumnya. Pada pelaksanana Pilkada tahun 2020, tidak sedikit ASN yang terjerat kasus netralitas bahkan diantaranya telah dikenai sanksi hukuman disiplin.
Berdasarkan data dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sesuai yang dirilis Bawaslu, pada Pilkada 2020 total terdapat 917 pelanggaran netralitas ASN. Rinciannya terdiri atas 484 kasus soal memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon (paslon) melalui media sosial, 150 kasus menghadiri sosialisasi partai politik, 103 kasus melakukan pendekatan ke parpol. Selain itu, sebanyak 110 kasus terbukti melakukan dukungan pada salah satu paslon, serta 70 kepala desa mendukung salah satu paslon.
Merespon hal tersebut, guna mempersiapkan penyelenggaran pemilu dan pemilihan yang sehat bagi ASN pemerintah bergerak cepat dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN. Satgas ini bersifat multi lembaga terdiri atas Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Negara, Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum. Satgas bertugas untuk melakukan pencegahan dalam bentuk sosialisasi, penindakan, monitoring dan evaluasi terkait dengan netralitas ASN yang diformalkan melalui Keputusan Bersama.